Friday, November 29, 2013

Kearifan Lokal Waspada Tsunami di Selatan Jawa


Kearifan Lokal Waspada Tsunami di Selatan Jawa
Kepala Pusat Seismologi, Teknik Geofisika Potensial dan Tanda Waktu, Badan Metereologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Jaya Murjaya mengingatkan pentingnya memodifikasi informasi kewaspadaan tsunami menjadi kearifan lokal di pesisir selatan Jawa. Upaya untuk membuat informasi sadar bencana tsunami yang mampu hidup dalam jangka waktu panjang di tengah masyarakat tersebut juga perlu digencarkan di pesisir Sumatera yang menghadap samudera hindia dan sebagaian kepulauan nusa tenggara. "Ini alat deteksi dini bencana tsunami paling canggih," ujar dia di Yogyakarta pada Kamis, 28 November 2013.
Jaya mengatakan masyarakat Indonesia perlu memahami sedang bermukim di kawasan kepulauan langganan tsunami sejak berabad-abad lalu. Data Pusat Seismologi, Teknik Geofisika Potensial dan Tanda Waktu BMKG mencatat ada 110 tsunami, dengan daya rusak besar, terjadi di Indonesia sejak tahun 1629. "Satu tsunami disebabkan longsor di bawah laut, sembilan karena letusan gunung api di bawah laut dan 100 akibat gempa tektonik," ujar dia.
Efektivitas kewaspadaan bencana yang menjadi kearifan lokal terbukti di Pulau Simeulue, NAD ketika terjadi bencana tsunami 2004. Saat itu, di pulau kecil, yang termasuk kawasan permukiman terdepan menghadap gelombang tsunami Aceh, hanya ada belasan korban meninggal. Sementara di kawasan daratan seperti Banda Aceh korba jiwa mencapai belasan ribu.
Menurut Jaya di pulau itu ada hikayat yang menyarankan agar penduduk Simeulue lari ke perbukitan begitu ada gempa, air laut surut dan ikan bergelimpangan di pantai. Faktanya, kata Jaya, tsunami besar memang pernah menerjang pulau itu pada tahun 1903 dan 1905. "Sirine, alat peringatan dini Sosialisasi dan workshop sadar bencana saja belum cukup," kata dia.
Dia menunjukkan sejumlah gambar kepadatan jalanan besar di Banda Aceh ketika terjadi gempa berskala lebih dari 8 skala richter pada April, 2011 lalu. Meskipun sudah banyak alat peringatan dini dan sosialisasi sadar bencana, masyarakat di sana banyak yang masih kebingunngan mencari jalur evakuasi sehingga menumpuk di jalanan.
Padahal, hasil simulasi rumus, gempa lebih dari 7 skala richter di kedalaman laut 100 meter saja, mungkin menimbulkan tsunami dengan kecepatan 10 meter per detik. "Seperti kecepatan pelari tercepat kelas dunia," kata Jaya.
Pentingnya kearifan lokal sadar tsunami di pesisir selatan Jawa sebenarnya jauh lebih penting. Menurut Jaya lempeng Sumatera karakter pertemuan patahannya miring sehingga gempa berlangsung cepat sehingga tsunami biasa didahului getaran besar. "Namun, di pesisir selatan Jawa, besaran tsunami tidak sebanding dengan getaran, contoh kasusnya tsunami Pangandaran," kata Jaya.
Sebabnya, pertemuan patahan di lempeng selatan Jawa atau subduksinya memiliki karakter posisi tegak lurus. Ketika pergeseran terjadi getarannya lebih halus ketimbang di subduksi patahan yang posisi pertemuannya mirin.
Di laut selatan Jawa, robekan lempeng di patahan yang panjang akan berlangsung lebih lama ketimbang di Sumatera karena karakter batuan agak kenyal bukan keras. Getaran gempa dengan skala tidak seberapa besar akan terus berulang sehingga air laut seperti dikocok. "Ini namanya gempa lambat, getaran kecil tapi bisa memunculkan tsunami besar," ujar dia.
Karena itu, dia menyarankan ketika terasa gempa dengan getaran seberapa pun, lebih baik warga tidak mendekat ke sekitar garis pantai. "Ini yang penting untuk dipahami dalam jangka panjang oleh masyarakat sekitar pesisir," ujar dia.
Akan lebih baik lagi apabila di sekitar pesisir lautan selatan Jawa ada penanaman hutan bakau yang bermanfaat memecah gelombang. Hutan bakau meminimalisir daya rusak gelombang tsunami. "Jauh lebih murah ketimbang membangun beton pemecah gelombang laut," kata dia.

No comments:

Post a Comment